Saturday, February 13, 2016

ANALISIS PUTUSAN MK NO.140/PUU-VII/2009 TENTANG PENGUJIAN UU NO.1/PNPS/TAHUN 1965 (UU PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA) TERHADAP UUD NRI 1945
MAKALAH FILSAFAT HUKUM
DOSEN PENGAMPU : ASRORI S. KARNI
OLEH : AHMAD MA’RUF (1113048000030)
1.   Rumusan Argumen Filosofis Dibuatnya UU No.1/PNPS/Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama

Sejarah munculnya undang-undang ini adalah dengan munculnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia. Menurut Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral diatas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena merupakan salah satu tiang pokok kehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia sila pertama juga merupakan sendi kehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.
          Dengan demikian, penetapan presiden merupakan realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketatanegaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing. Berhubung dengan maksud memupuk ketentraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan, dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pendapat di atas dapat disesuaikan dengan yang dikemukakan oleh Thomas Aquino bahwa sebagian kecil dari rasio tuhan yang diwahyukan kepada manusia. Sehingga hukum yang diciptakan manusiapun juga untuk menjaga hukum yang diciptakan Tuhan.


2.   Rumusan Pokok Perkara Dalam Uji Materi UU No.1/PNPS/Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama

·        Para pemohon menilai bahwa ketentuan-ketentuan dalam UU No.01/PNPS/1965 tidak sesuai dengan Prinsip Negara Hukum. Dimana undang-undang tersebut ketika itu dibuat oleh presiden. UUD 1945 mengatur ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat” [Amandemen Pasal 5 ayat (1)] dan ” Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.[Pasal 20 ayat (1)]. Berdasarkan latar belakang kelahiran Undang-Undang a quo sebagaimana diuraikan di atas, sangat jelas Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 bertentangan dengan konstitusi. dimana seharusnya DPR lah yang berhak membuat undang-undang.

·        Pemohon juga menilai bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 Dikeluarkan Ketika Negara Dalam Keadaan Darurat. Dalam Pasal 29 Siracusa Principle dinyatakan bahwa: National security may be involved to justify measures limiting certain rights only when they are taken to protect the exixtence of the nation or its territorial integrity or political independence against force or threat of force, (Bukti P-10). Batasan ini hanya dapat dipakai oleh negara untuk membatasi hanya jika digunakan untuk melindungi eksistensi bangsa atau integritas wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, Prinsip ini hanya boleh digunakan bila ada ancaman politik atau militer yang serius yang mengancam seluruh bangsa. Berdasarkan hal-hal di atas, peraturan di masa Negara dalam keadaan darurat seharusnya bersifat sementara dan tidak diberlakukan lagi ketika masa kedaruratan tersebut berakhir. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 sebagai peraturan yang dilahirkan dalam keadaan darurat sudah selayaknya dinyatakan tidak mengikat atau tidak diberlakukan lagi.

·        Pembatasan Atas Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan. Bahwa pembatasan apapun terhadap kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya (forum internum), tidak diperbolehkan. Kebebasan-kebebasan ini dilindungi tanpa pengecualian. Karakter mendasar dari kebebasankebebasan ini juga dicerminkan pada kenyataan bahwa ketentuan ini tidak dapat dikurangi (non derogable) bahkan pada saat darurat publik;

·        Kewajiban Negara Menghormati Dan Melindungi Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan. menurut Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pemerintah bukan hanya wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, namun juga peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia

·        Ketentuan-ketentuan yang ada dalam  undang-undang tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, kemunduran demokrasi, pelecehan negara hukum, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Selain itu juga merusak semboyan bhineka tunggal ika. Sehingga dapat menimbulkan ketidak adilan.
Jika melihat argumen pemohon maka dapat di analisa bahwa pemikiran mereka berlandaskan pada aliran kepastian hukum mengenai bagaimana mekanisme penerbitan undang-undang a quo tersebut.

Selain itu para pemohon juga mengambil pemikiran utilitarianisme tentang kebahagian yang diartikan sebagai kebebasan yang sebesar-besarnya dan tidak terbatas.

No comments:

Post a Comment